Blogroll

Selasa, 18 Januari 2011

3 "Tiang Penyangga" Sulawesi Selatan

1. Gunung Latimojong adalah satu nama gunung di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, Indonesia. Gunung Latimojong berada di tengah-tengah Sulawesi Selatan. Sebagian besar pengunungan ini terletak di daerah Kabupaten Enrekang. Gunung Latimojong merupakan gunung yang tertinggi di Sulawesi Selatan dengan ketinggian 3.680 meter, puncaknya yang bernama Rante Kambola. Pegunungan Latimojong ini membentang dari selatan ke utara. Di sebelah barat Gunung Latimojong adalah Kabupaten Enrekang, sebelah utara Kabupaten Tana Toraja, sebelah selatan adalah daerah Kabupaten Sidenreng Rappang dan area sebelah timur seluruhnya wilayah Kabupaten Luwu sampai di pinggir pantai Teluk Bone.

2. Gunung Lompobattang terletak di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Gunung ini berdekatan dengan Gunung Bawakaraeng. Seperti Gunung Bawakaraweng, gunung ini juga menjadi objek pendakian. Bila Gunung Bawakaraeng didaki lewat lokasi wisata Malino, Kecamatan Tinggimoncong, Gunung Lompobattang didaki lewat Kecamatan [[Tompobulu]. Seperti Gunung Bawakarawng, gunung ini juga menjadi sasaran penganut singkritisme yang melakukan ibadah haji di puncak gunung ini pada musim haji bulan Zulhijjah. Berada di puncak Gunung Lompobattang, kita melihat puncak Gunung Bawakaraeng

3. Gunung Bawakaraeng berada di wilayah Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Di lereng gunung ini terdapat wilayah ketinggian, Malino, tempat wisata terkenal di Sulawesi Selatan. Secara ekologis gunung ini memiliki posisi penting karena menjadi sumber penyimpan air untuk Kabupaten Gowa, Kota Makassar, Kabupaten Bantaeng, Kabupaten Bulukumba dan Kabupaten Sinjai.  Bawakaraeng bagi masyarakat sekitar memiliki arti sendiri. Bawa artinya Mulut, Karaeng artinya Tuhan. Jadi Gunung Bawakaraeng diartikan sebagai Gunung Mulut Tuhan.Penganut sinkretisme di wilayah sekitar gunung ini meyakini Gunung Bawakaraeng sebagai tempat pertemuan para wali. Para penganut keyakinan ini juga menjalankan ibadah haji di puncak Gunung Bawakaraeng setiap musim haji atau bulan Zulhijjah, bersamaan dengan pelaksanaan ibadah haji di Tanah Suci. Tepat tanggal 10 Zulhijjah, mereka melakukan salat Idul Adha di puncak Gunung Bawakaraeng atau di puncak Gunung Lompobattang.  Pada tanggal 26 Mei 2004, terjadi tragedi longsor di kaki Gunung Bawakaraeng, tepatnya di Kecamatan Tinggimoncong. Musibah longsor ini menewaskan 30 warga dan menimbum ribuan areal sawah dan perkebunan. Eks wilayah longsor tersebut mengakibatkan daerah aliran sungai (DAS) menjadi labil. Setiap musim hujan, lumpur di kaki Gunung Bawakaraeng mengalir masuk ke Bendungan Bilibili, bedungan terbesar di Sulawesi Selatan yang ada di Kabupaten Gowa, yang menjadi sumber air baku di Gowa dan Makassar. Lumpur juga mengalir masuk ke Sungai Jeneberang, sungai terbesar di Gowa yang membelah Sungguminasa ibukota Kabupaten Gowa serta membendung Kota Makassar di wilayah selatan. Gunung yang tingginya sekitar 2.705 meter dari permukaan laut ini juga menjadi arena pendakian. Namun, sudah banyak menelan korban akibat mati kedinginan bila mendaki pada musim hujan.

Gn. Bawakaraeng

Gunung Bawakaraeng 2830 m
(Wednesday, 23 August 2006) - Contributed by Administrator - Last Updated (Tuesday, 21 August 2007)
Gunung Bawakaraeng berdiri dengan ketinggian 2.830m d.p.l, dan berada pada posisi 119°56'40" BT dan 05°19'01" LS.
dan suhu minimum adalah sekitar 17°C hingga maksimum 25°C. Hutan gunung ini didominasi oleh vegetasi hutan dataran
rendah, hutan pengunungan bawah dan hutan pegunungan atas. Tumbuhan yang banyak ditemui diantaranya Jenis
pinus, anggrek, edelweis, paku-pakuan, pandan, cengkeh, santigi, rotan, lumut kerak dan lain sebagainya. Sedangkan
untuk jenis fauna yang bisa ditemui antara lain, Anoa, babi hutan, burung pengisap madu, burung coklat paruh panjang
dan lainnya. Gunung ini merupakan darah tangkapan air untuk Kabupaten Gowa, Makassar dan Sinjai. Juga merupakan
hulu sungai Jene' berang. Serta merupakan Kawasan Hutan Wisata. Gunung ini juga termasuk kedalam kawasan Hutan
Lindung Lompobatang. Gunung Bawakaraeng yg menurut masyarakat sekitar punya arti Bawa = Mulut dan karaeng =
Tuhan, kalau diartikan menjadi Gunung Bawakaraeng = Gunung Mulut Tuhan, termasuk kedalam wilayah kawasan
Hutan Lindung Lompobatang. Pada bulan menjelang Idhul Adha, Gunung ini menurut penduduk akan menjadi sangat
ramai, karena sebagian kecil masyarakat di kabupaten Gowa percaya, kalau mendaki Gunung bawakaraeng, sama
dengan melakukan perjalanan ke Tanah Suci, jadilah istilah Haji Bawakaraeng. Gunung Bawakaraeng yg posisinya
sangat dekat dengan laut, juga pada malam hari kota Makassar terlihat begitu indah dari puncak bawakaraeng, ternyata
gunung ini menyimpan banyak misteri, dan banyak juga legenda Mistis yg melekat di gunung ini.Dibalik itu, sebagai
gunung yg paling sering dikunjungi dan pada bulan - bulan di musim penghujan, kondisi cuaca di gunung ini menjadi
sangat buruk dan sering terjadi badai di pegunungan lompobatang. Waktu kunjungan terbaik biasanya di anjurkan pada
bulan Mei - September, karena pada bulan tersebut cuaca lumayan baik dan pemandangan alam akan begitu terlihat
indah. Gunung ini hanya berjarak 75 km dari Kota Makassar dan menjadikan gunung favorites bagi pendaki di Kota
Makassar dan sekitarnya.Rute PendakianSecara Geografis, Gunung Bawakaraeng terletak di Kabupaten Gowa, akan
tetapi pencapaian menuju puncak gunung ini dapat dilakukan dari dua jalur yaitu, jalur Lembanna yang juga terletak di
kabupaten Gowa. Dan jalur satunya adalah jalur Tassoso' yang terletak di Kabupaten Sinjai.JALUR LEMBANNA
Lembanna terletak disebelah Utara Laut puncak Bawakaraeng. Daerah ini juga berada tepat dikaki gunung
Bawakaraeng dengan ketinggian 1.400m d.p.l, pada posisi koordinat 119°54'18" BT dan 05°15'15" LS. Mata pencaharian
penduduknya adalah bertani. Curah hujan rata-rata adalah 2.034mm/tahun dengan suhu udara minimum 15°C dan
maksimum 20°C. umumnya penduduknya ber etnik Makassar atau penduduk asli, dan umumnya rumahnya bersedia
digunakan untuk bermalam. Desa yg termasuk dalam kecamatan Tinggi Moncong, kabupaten Gowa, lebih dikenal
dengan daerah Wisata Malino.Masyarakat desa Lembana ini sangat ramah dan bersahabat, banyak pendaki yang
menginap gratis di rumah penduduk sebelum mendaki, Tiap akhir pekan tempat ini selalu ramai dikunjungi oleh Pendaki
yang ingin mendaki gunung Bawakaraeng ataupun orang yang hanya sekedar santai menikmati hari libur dikaki gunung
Bawakaraeng. Urutan pencapaian dari Makassar sebagai berikut:Makassar--> Sungguminasa--> Malino--> Lembanna-->
Puncak Gunung Bawakaraeng Jika datang dari Makassar atau dari Luar pulau sulawesi, naik angkutan Kota menuju ke
Terminal Gowa, atau bisa juga Turun di perempatan Sunggu Minasa, Jalan arah ke Malino. Dari sini, Naik Angkutan
Pedesaan jurusan Malino, waktu tenpuh kurang lebih 2-3 jam perjalanan. Biasanya Sopir angkutan sudah hafal, kalau
ada pendaki yg akan mendaki Bawakaraeng, Sopir Angkutan akan mengantar sampai ke Desa lembanna. Desa terakhir
di kaki gunung Bawakaraeng. Tariff per Orang Rp. 8000. para pendaki pada umumnya bermalam terlebih dahulu di Desa
lembanna, yg punya ketinggian 1400 Mdpl, baru keesokan paginya pendakian dimulai. Atau bisa juga melakukan
pendakian pada Malam hari.Desa Lembanna
Pendakian dimulai dari Desa Lembanna, medannya berupa perkebunan penduduk lalu mulai masuk pintu Hutan Pinus
dan untuk mencapai Pos 1 dibutuhkan waktu 1-2 jam perjalanan.Pos 1
Dari Pos 1 yg ketinggian mencapai 1650 mdpl, pendakian terus landai hingga mencapai Pos 2, diperlukan waktu tak
lebih dari 1 jam perjalanan, disini tersedia mata air yg mengalir.Pos 2
Perjalanan belum terlalu mendaki, masih landai dan mulai masuk vegetasi hutan khas sulawesi, waktu tempuh tak
berbeda dengan dari Pos 1 ke Pos 2,Pos 3
Di pos 3 juga tersedia mata air dan bisa mendirikan Tenda.Pos 4
Pos 4 di tempuh dalam waktu lebih dari 1 Jam perjalanan dan perjalanan di lanjut hingga Pos 5, di pos 5 terdapat mata
air, hanya saja lumayan jauh. Biasanya I Pos 5 digunakan untuk bermalam.Pos 5
Dari Pos 5, perjalanan mulai mendaki dan sepanjang perjalanan akan melewati Pohon-pohon yg tumbang karena dari
Pos 5 - 6, hutannya habis terbakar, kalau mendaki malam hari sebaiknya berhati-hati, karena disini biasanya pendaki
sering tersasar, karena jalur tak begitu terlihat.Pos 6
Ketika tiba di Pos 6, perjalanan masih melalu hutan yg lumayan lebat, perjalanan terus melandai dan mulai mendaki dan
hutan mulai menghilang berganti vegetasi hutan yg berbeda dan setelah 2 jam perjalanan, akan tiba di Pos 7, yg punya
ketinggian 2710 mdpl.Pos 7
Di Pos 7 pemandangan sangat indah dan lumayan terbuka. Dipos 7 inilah yg sering terjadi badai.Pos 8
Dari Pos 7 menuju Pos 8, jalur mulai naik turun, di sepanjang jalur ini terdapat 2 kuburan dan ada pula In-memoriam
pendaki yg tewas, setelah melewati 2 bukit yg punya ketinggian rata-rata 2700 mdpl, jalur akan menurun dan Tiba di Pos
8, disini tersedia mata air, dan biasanya pendaki bermalam disini baru keesokan paginya menuju puncak Bawakaraeng.
Pemandangan rumput savana dan puncak bawakaraeng terlihat dari pos 8 ini, suhu pada malam hari antara 8-10
derajat.Pos 9
Setelah melewati padang savana dan ada kebun edelweis maka akan Pos 9 di tempuh kurang lebih 1 jam perjalanan, di
pos 9 juga bisa digunakan untuk mendirikan tenda.Pos 10
Pos 10 adalah Puncak Bawakaraeng. Untuk mencapai puncak bawakaraeng, tidak lah terlalu sulit, walaupun sedikit
mendaki. Setelah menempuh kurang lebih ½ jam perjalanan, maka akan tiba di Puncak Bawakaraeng. Sebaiknya
http://contents.highcamp.info - highcamp the adventures, Indonesia adventures infoPrmowaetiorend by Mambo Generated: 18 January, 2011, 11:55
sebelum menuju puncak perhatian kondisi alam di puncak, terkadang angin bertiup lumayan kencang.Rute alternative
bisa juga menggunakan jalur lintas, yaitu melewati lembah Rama, dari Pos 1 ada percabangan jalan, ambil jalur kanan
dan tembuh di Pos 8, jalur ini lumayan panjang dan melewati lembah yg lumayan luar, bisa melihat Air Terjun Taka Palu
yg punya ketinggian 50 meter. Rute Alternative lintas LompoBatang, Pendakian bisa juga lintas ke Gunung
LompoBatang melalui puncak bawakaraeng dan Turun di Kabupaten Gowa, menurut informasi dibutukan waktu 3 hari
perjalanan.JALUR TASSOSO
Dusun Tassoso' terletak disebelah Timur Laut puncak Gunung Bawakaraeng. Daerah ini yang berda tepat dibawah kaki
gunung ini dan berada pada ketinggian 1.320m d.p.l, pada posisi koordinat 119°58'38" BT dan 05°58'55" LS. Mata
pencaharian penduduknya adalah bertani. Curah hujan rata-rata adalah 78.7mm/tahun dengan suhu udara minimum
15°C dan maksimum 27°C. Urutan pencapaian dari Makassar sebagai berikut:Makassar--> Sinjai Barat (Manipi)-->
Gunung Perak (Tassoso)--> Puncak Gunung BawakaraengKeadaan Puncak
Ketika tiba dipuncak Bawakaraeng, pemandangan di puncak ini termasuk yg paling bagus di sulawesi, tak heran setiap
minggu gunung ini ramai di daki oleh para pendaki yg umumnya datang dari Sulawesi selatan, juga dari propinsi lainnya.
Terdapat Sumur yg dikeramatkan oleh masyarakat, biasanya mereka mengambil air dari sumur tersebut untuk di
bawapulang, juga terdapat batu yg biasa digunakan untuk sesajen. Luas puncaknya kurang lebih 100 m2, pemandangan
Laut dan Kota Makassar di arah barat, di arah Timur Awan terlihat tebal dan terdiam menggumpal, di arah selatan
terlihat Gunung Bulusaraeng dan arah selatan, adalah Gunung LompoBatang 2871 mdpl, bisa dilintasi lewat Gunung
Bawakaraeng. Waktu tempuh untuk pendakian Gunung Bawakaraeng, kalau dirata-rata dari Desa Terakhir kira-kira 6 - 8
jam perjalanan. PerijinanTidak ada perijinan yang berbelit-belit untuk mendaki gunung ini, hanya perlu melapor ke kepala
desa setempat dan untuk lebih baiknya menyertakan surat jalan yang dilampiri data lengkap para
pendakinya.Keberadaan Porter
Didesa lembanna, kebanyakan penduduk bersedia untuk mengantar dan sekaligus menjadi Porter, hanya saja tak ada
tariff yg jelas. Tergantung kesepakatan. Tempat Menarik
Ada beberapa tempat menarik yang bisa dikunjungi disekitar gunung ini antar lain:
Air terjun di wilayah Tassoso' degnan tinggi 50 meter dan terletak pada ketinggian 1.470m d.p.l. Dapat dicapai dengan
jalan kaki dengan jarak tempuh 5 jam pulang pergi, selain air terjun terdapat juga beberapa goa.
Di wilayah Lembanna dijumpai juga sebuah air terjun dengan ketinggian 15 meter dan terletak pada ketinggian 1.514m
d.p.l dan dapat dicapai dengan jalan kaki. Memakan waktu tempuh sekitar 1 jam pulang pergi.
Air Terjun Malino
Air Terjun Takapalu
Air Terjun Ketemu Jodoh
Taman Wisata Hutan MalinoPetaLembar Peta 2010-62 Malakaji

TEORI KLASIK MENGENAI PERKEMBANGAN PERGUAAN (Bagian ini diperoleh dari Reeder, (1988)

Banyak debat intensif yang terjadi selama abad ini yang menyangkut ilmu pengetahuan geomorfologi yang berhubungan dengan asal muasal gua di batu gamping. Apakah gua terbentuk diatas water table (zona vadose), dibawah water table (zona phreatic), atau pada bidang dari water table itu sendiri? Beberapa teori dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Teori Vadose-Dwerry house (1907), Greene (1908), Matson (1909), dan Malott (1937) mempertahankan bahwa sebagian besar perkembangan gua berada di atas water tabel dimana aliran air tanah paling besar. Jadi, aliran air tanah yang mengalir dengan cepat, yang mana gabungan korosi secara mekanis dengan pelarutan karbonat, yang bertanggung jawab terjadap perkembangan gua. Martel (1921) percaya bahwa begitu pentingnya aliran dalam gua dan saluran (conduit) begitu besar sehingga tidak berhubungan terhadap hal terbentuknya gua batu gamping sehingga tidak relevan menghubungkan batugamping yang ber-gua dengan dengan adanya water table, dengan pengertian bahwa permukaan tunggal dibawah keseluruhan batuannya telah jenuh air.
2. Teori Deep Phreatic-Cjivic (1893), Grund (1903), Davis (1930) dan Bretz (1942) memperlihatkan bahwa permulaan gua dan kebanyakan pembesaran perguaan terjadi di kedalaman yang acak berada di bawah water table, sering kali pada zona phreatic yang dalam. Gua-gua diperlebar sebagai akibat dari korosi oleh air phreatic yang mengalir pelan. Perkembangan perguaan giliran kedua dapat terjadi jika water table diperrendah oleh denudasi (penggundulan) permukaan, sehingga pengeringan gua dari air tanah dan membuatnya menjadi vadose dan udara masuk kedalam gua. Selama proses kedua ini aliran permukaan dapat masuk ke sistem perguaan dan sedikit merubah lorong gua oleh korosi.
3. Phreatic Dangkal atau Teori Water Table-Swinnerton (1932), R Rhoades dan Sinacori (1941), dan Davies (1960) mendukung gagasan bahwa air yang mengalir deras pada water tabel adalah yang bertanggungjawab terhadap pelarutan di banyak gua. Eleveasi dari water table berfluktuasi dengan variasi volume aliran air tanah, dan dapat menjadi perkembangan gua yang kuat didalam sebuah zone yang rapat diatas dan dibawah posisi rata-rata. Betapapun, posisi rata-rata water table harus relatif tetap konstan untuk periode yang lama. Untuk menjelaskan sistem gua yang multi tingkat, sebuah water table yang seimbang sering dihubungkan dengan periode base levelling dari landscape diikuti dengan periode peremajaan dengan kecepatan down-cutting ke base level berikutnya.
Sekalipun sebagian besar speleologis akan setuju bahwa tiga teori diatas dapat diaplikasikan pada beberapa hal, kebanyakan akan diperdebatkan apakah gua dibentuk terutama pada atau didekat water table. Masuknya aliran bawah permukaan, biasanya dikelompokkan sebagai teori vadose, telah memiliki sedikit dukungan selama beberapa tahun. Mallot (1937) menyimpulkan bahwa gua-gua yang besar di bagian Selatan Indiana dihasilkan dari aliran permukaan menjadi terbelokkan kedalam bawah tanah dan membuat gua-gua pada atau didekat water table. Mallot (1952) menyebutkan Lost River di Indiana adalah salah satu contoh yang baik dari invasi aliran permukaan terhadap bawah permukaan. Woodward (1961) dan Howard (1963), dan Crawford (1978; 1987) terkenal diantara yang lainnya yang memiliki usulan mengenai teori invasi terhadap perkembangan gua.
Dalam diskusi hidrologi daerah batu gamping Smith, Atkinson dan Drew (1976) mengusulkan bahwa debate pada alam drainase batu gamping telah terjadi antara dua kampus yang besar sedangkan sebelumnya ada tiga.
Satu kampus, mengambil gagasan dari Grund (1903), telah mempertahankan bahwa sirkulasi air dalam batu gamping secara mendasar sama dengan rekahan batuan lain, dan untuk itu gua-gua berkembang sebagai sebuah konsekuensi dari sirkulasi dan tidak besar pengaruh polanya (lihat, sebagai contoh, Davis, 1930; Swinnerton, 1932; Rhoades dan Sinacore, 1941). Di pihak lain, kampus berikutnya mengikuti Martel (1910) cenderung untuk mempertahankan bahwa tanpa gua dan lorong tidak akan terdapat sirkulasi bawah tanah, atau secara virtual tidak ada, dan untuk itu rezim air tanah kawasan batugamping sama sekali berbeda dengan batuan lain (Trombe, 1952). (Ford dan Cullingford, 1976, p. 209).
Mereka menyimpulkan bahwa dua model yang rupanya saling berseberangan antara Grund dan Martel adalah tipis, kecuali kasus yang ekstrim dari berbagai pandangan mengenai kemungkinan sistem drainase dan bahwa sebagian besar bentukan rupa kawasan batugamping dari dua kampus, sedangkan area yang menampilkan salah satu bahan dari yang lain adalah tipis saja.
Problem utama dari teori klasik dari asal muasal gua adalah peran minor yang dialamatkan terhadap struktur, stratigrafi, topgrafi, dan keadaan hidrologi. Sekarang terlihat nyata bahwa tidak ada satu teori tentang asal muasal dan perkembangan gua dapat diaplikasikan ke semua gua. Ford (Ford dan Cullingford, 1976) bertahan bahwa dimulai sejak dua situasi geologi tepat sama, satu teori umum dari speleologi adalah tidak mungkin. Sekalipun banyak faktor umum untuk terhadap banyak area kepentingan relatif mereka akan tergantung kepada situasi geologi dan kemudian tiap area akan memiliki sejarah speleogenisis sendiri yang unik.
Sedangkan, jika ada area dengan situasi geologi yang sangat sama, dapat dipercayai bahwa model speleogenesis dapat dikembangkan untuk daerah yang memilki kesamaan struktur, stratigrafi, setting topografi dan hidrologi.

Selasa, 11 Januari 2011

KETUA UMUM

KETUA UMUM (Periode 2012-2013)



Nama Lengkap    : M A N T A R I
No.Anggota         : P.A.L GM16 209 09 002
Tempat/Tgl Lahir  : JENEPONTO, 1 MEI 1991
Agama                 : ISLAM
Asal Daerah         : JENEPONTO
Alamat                 : Basecamp P.A.L
Telepon                : 085255471770
Email                    : mantariunhas09@gmail.com



Kampoeng Para Sahabat Alam


Tidak ada yang tau secara pasti, kapan Dusun Lembang Na' (kemudian diubah oleh org2 tdk bertangung jawab menjadi menjadi Lembanna hanya karena lidahnya tdk suka menyebut kalimat Lembang Na') mulai menjadi base camp pavorit di kalangan penggiat alam bebas Kota Makassar dan sekitarx. Dusun Lembang Na' adalah bagian kawasan hutan dari bagian wilayah Gunung BawakaraEng yang perlahan dijadikan lahan kebun dan lahan penggembalaan ternak penduduk di lingkungan Kampung Beru, sebelum tahun 1980-an.
Meskipun banyak versi yang pernah saya dapatkan, tetapi tahun 1985-1986 ketika saya sudah sering mengunjungi Gunung BawakaraEng dan menjadi penghuni tetap salah satu rumah di Kampung Beru (rumah itu konon adalah rumah pertama tempat menampung para pendaki gunung yang berniat mendaki gunung BawakaraEng awal tahun 1970-an) saya diperlihatkan sebuah buku tamu yang sudah lusuh nan usang bin lecek-lecek dan kabur2 mi tulisannya (oleh si empu rumah). Dalam catatan buku tersebut tertulis beberapa laporan kelompok pemuda yang akan melakukan pendakian ke Gunung BawakaraEng antara tahun 1976-1978. Nama kelompok trsbt aneh2 (menurut saya waktu itu).
Rumah itu (konon kabarnya) adalah rumah pertama yang resmi menampung pendaki gunung di tahun 1974 kemudian secara tidak resmi dijadikan base camp tetap untuk melapor bagi setiap kelompok yang berniat mendaki gunung dan ditempeli sebuah papan seukuran 75 cm x 50 cm dengan tulisan "Himpunan Pencinta Alam (HIPALA SULSEL)" ditambah tulisan lain : Siapkan Fisik dan Mentalmu Sebelum engkau Melangkah! Alam Dapat Berubah Menjadi Ganas ! ih..h.. Seram sekali seperti kalimat ancaman, saja!
Tetapi memang demikianlah adanya, zaman itu kawasan gunung BawakaraEng masih keliatan menakutkan. Perjalanan masih harus ditempuh sehari semalam atau bisa sampai dua hari (kalau tdk ketemu jalan naik atau turun). Jalur setapak yang tersedia ke arah puncak masih belum jelas betul, hutan masih sangat lebat ditambah cerita mistis melegenda yang menyiutkan nyali. Kelompok yang akan mendaki biasanya harus ditemani oleh seorang penduduk kampung Beru yang bertindak sebagai pemandu jalan (juga sekaligus porter) maklum masa itu alat camping masih terbuat bahan yang berat. Sebagai contoh, tenda paling canggih yang digunakan kelompok masa itu, umumnya terbuat terpal kain tebal yang serba berat (apalagi diguyur hujan, dah lengkapmi penderitaannya si porter tadi). Pokoknya masa itu semua serba baja, hanya yang bermental baja jualah yang sepadam dengan perjalanan di masa itu.
Zaman itu, perjalanan bukan hanya dimulai dari Kampung Beru, tetapi perjuangan sudah dimulai dari Kota Malino. Tracking melalui bukit2 dan hutan pinus dengan beban ransel dipundak. Jangan bayangkan, bahwa ada mobil yang lewat di jalur itu, hanya mobil yang salah arah yang mungkin lewat disitu.

Sekitar akhir tahun 1976, dengan semakin ramainya pendakian ke Gunung BawakaraEng, maka satu persatu penduduk Kampung Beru atau dusun lain terdekat yang sudah menikah! mulai membangun rumah-rumah kebun atau rumah permanen di Lembang Na', sebagian malah tetuah dusun Kampung Beru malah menetap di Lembang Na' dengan kegiatan bercocok tanam sayur-sayuran. Kelompok2 Pendatang yang berniat mendaki gunung mulai ngetem di salah satu rumah penduduk Lembang na' sebelum track ke puncak.
Saya sendiri sampai pada tahun 1987, masih lebih senang ngetem di Kampung Beru jika berniat mendaki. Selain sdh akrab dengan tuan rumah rumah itu juga cukup nyaman (tidak sedingin di Lembang Na') untuk istirahat semalam sebelum mendaki di tengah malam atau subuh dinihari.
Di Lembangna sendiri pertengahan tahun 1980-an, rumah-rumah penduduk sudah habis dibagi2 menjadi basecamp kelompok2 pencinta alam. Ada kelompok Ripala, Kharisma, Mapala UMI, Sintalaras (IKIP), Makassar Hiking Club, Korpala dan Sar (Unhas), ......dan banyak lagi yg sy sudah lupa nama2 kelompoknya.
Kehidupan masyarakat LembangNa' sangat sederhana dan bersahaja, setiap penduduk akan mengajak mampir kerumahnya jika berpapasan di jalan. Nasi jagung dan sayur kacampe menjadi menu andalan. Rumah Dg. Pepa (Alm) orang yang dituakan di Lembanna dan Dg. Mu'ding adalah base camp utama tempat melaporkan diri para sahabat2 alam tsb. Di masa itu ada aturan tidak tertulis yang disepakati oleh para pendaki, sebelum melakukan pendakian wajib hukumnya melaporkan diri dan ditulis dibuku tamu (informasi ini sebagai bahan kontrol perjalanan). Di rumah Dg. Mudding malah didirikan sebuah antena 2 metaran untuk menjadi bantuan komunikasi jika terjadi kondisi darurat.
Pendaki2 yang masuk daftar pengunjung tetap saling akrab dan membaur, even tahunan seperti Rimba Raya Mapala UMI dan upacara 17 -agustusan menjadi arena kumpul2 akbar para dedengkot untuk berbagi cerita dan pengalaman perjalanan (termasuk cerita sdkt ngibul). Saya dan kawan2 yang lebih muda menjadi pendengar setia dari cerita para dedengkot ini sampai larut malam. Perkenalan dan pertemanan dengan para dedengkot ini kemudian membawa saya bergabung melakukan perjalan ke gunung2 lain yang lebih jauh dan sulit seperti G. Latimojong dan G.Lompobattang.
Masa paling berkesan di Lembangna jika musim panen jagung tiba, setiap waktu panggilan untuk menyantap jagung datang dari hampir semua rumah yang ada di Lembangna'. Aneka santapan jagung, mulai dari jagung bakar, masak, bassang, sampai jagung setengah masak juga kita rasakan. Tuan rumah tidak akan beranjak sebelum kita memenuhi undangan ke kebun jagungnya. Perjalanan pulang ke Makassar sehabis mendaki harus direpotkan oleh bawaan oleh2 dari tuan rumah, kentang, daun prey, jagung dan sebagainya wajib dibawa! Persahabatan dan Ketulusan adalah perekat ikatan emosional antara kami dan penduduk Lembang Na'. Rumah setengah pangggung dengan atap yang kadang2 bocor tanpa pintu dan jendela memadai adalah "rumah kami", Setiap berkunjung saya selalu membawa buku tulis dan pensil untuk dibagikan ke anak2 usia sekolah penghuni rumah.
Malah di Tahun 1987, kami sempat mendirikan perpustakaan dan sekolah ala Lembang Na' di Posko bersama Dg. Mu'ding dengan tujuan untuk membantu anak usia sekolah di Lembang Na' belajar mandiri (sekolah waktu itu sangat jauh) itu salah satu karya positif para "sahabat alam" yang brilian di masa itu. Memperbaiki jembatan jalan masuk dan sumber air minum juga kita lakukan bersama2 dengan warga Lembang Na'. Lembang Na' bagaikan kampoeng kami, kampoeng para sahabat alam.
Panorama paling indah di Lembangna' adalah ketika kabut tebal mulai turun menutup rumah-rumah sederhana itu sampai di pelataran padang pinus yang luas. Panorama alam yang sulit terlupakan.
Saya masih ingat, bahwa pekerjaan paling melelahkan yang kita lakukan dengan warga Lembangna' adalah melakukan operasi penyelamatan dan evakuasi jenasah para korban "Jemaah Haji Gunung BawakaraEng" pada tahun 1987. Ada 11 jenasah dan beberapa korban lain yang masih hidup yang harus kita evakuasi dari sekitar puncak ke kaki gunung waktu itu. Guyuran hujan dan dinginya malam, tidak menjadi penghalang bagi kami untuk membantu operasi penyelamatan dan evakuasi, 3 hari kemudian baru operasi dinyatakan selesai.
Warga Lembang Na' yang laki2 dewasa turun membantu tanpa mengenal lelah dan mengharapkan balas jasa meski dengan meninggalkan pekerjaan rutin bertani mereka sehari-hari. Begitu tulusnya hati mereka.
Seiring perkembangan waktu, masa menjadi lewat.
Suatu waktu di 31 Desember akhir tahun 2009, setelah cukup lama saya tidak berkunjung kesana lagi,
saya mendapat undangan lisan dari kawan2 lama, untuk menghabiskan sisa waktu tahun 2009 untuk melakukan perjalanan ke Lembang Na' dan jika cuaca memungkinkan kita akan melakukan pendakian menuju sebuah lembah untuk sekedar mendirikan kemah dan bernostalgia dengan kawan2 lama. Perlengkapan lapangan dan logistik disiapkan oleh kawan2 yang sudah lebih dulu berangkat dan akan menunggu di Lembangna'.
Sore hari, ketika memasuki areal Kampoeng Beru saya lalu singgah dan mengunjungi beberapa orang tua tempat saya dulu sering tidur. Sedikit basa-basi, lalu pamit untuk bergabung dengan kawan2 lain di Lembangna'. Mobil saya belokkan perlahan, dan sangat kaget, bahwa jalan sudah diaspal, mobil sudah bisa nyampe ke Lembangna' tanpa kendala berarti.
Lembangna berubah perlahan menjadi pemukiman yang padat, statusnya menjadi sebuah Desa. Selain jalan masuk, mobil/motor, listrik, TV dan signal Hp juga bukan lagi barang mewah. Rumah2 mungil masa lalu sudah tidak keliatan lagi berganti menjadi rumah berdinding bata dengan aneka model dan warna cat.
Saya jadi begitu pangling, hampir saja tidak ketemu jejak masa lalu. Satu-satunya petunjuk yang dapat meyakinkan saya tentang Lembang na' saat ini ketika bertemu teman2 lama lagi. Saya berani bertaruh bahwa pasti sebagian besar penduduk di Kampoeng ini sudah tidak kenal dengan kami.
Agenda untuk menuju kesuatu tempat akhirnya dibatalkan, dan kami sepakat untuk menghabiskan waktu malam ini di salah satu rumah kerabat kami sambil bernostalgia! seperti 20 tahun lalu. Cerita masa lalu di tempat ini mulai ramae lagi, tetapi kali ini sudah tidak campur2 ngibul lagi, dan hampir semua sudah dikawal oleh "mantan pacar" alias sang isteri dan putra/putri mereka. Hiruk pikuk aneka cerita meramaikan malam itu, kabut dan dinginya malam sudah tidak seperti masa lalu lagi.
Yah itulah Lembang Na' kampoeng kita, "Kampoeng Para Sahabat Alam", kami berkumpul dan bertemu kembali setelah lebih 20 tahun lalu kami sering berkunjung ke tempat ini. Semua sudah berubah, semoga Ketulusan dan rasa persahabatan warga Desa Lembang Na' tidak lekang dimakan waktu,
YAH SEMOGA!

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India